
Dari hasil survei Digital News Report 2025, tercatat 57% responden penduduk Indonesia mendapatkan berita atau informasi melalui media sosial. Bukan media online mainstream. Sehingga timeline (lini masa) di media sosial telah menjadi instrumen opini publik. Bukan lagi instrumen chat atau obrolan.
Lantas apa yang terjadi jika yang beredar di lini masa media sosial dan viral adalah konten hoaks? Seperti Miscaption, Deepfake, Ajakan palsu atau narasi jahat yang dibangun dengan sesat pikir (logical fallacy)? Inilah pelajaran yang harus kita petik dari kerusuhan akhir Agustus lalu.
Kementerian Kominfo mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024, dengan tema politik dan keamanan. Artinya ada sebuah kegiatan produksi konten hoaks yang dilakukan oleh orang atau kelompok.
Ancaman Serius
Setidaknya ada empat konten yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat pengguna media sosial.
Pertama adalah miscaption (video/foto lama diberi keterangan waktu/tempat baru). Misalnya video sekelompok orang atau mahasiswa menyerbu ruang sidang gedung DPR RI. Padahal itu cuplikan gambar peristiwa 1998. Tetapi diberi teks atau narasi Agustus kemarin.
Kedua adalah deepfake (audio/visual sintetis yang meniru tokoh). Contoh kasus terbaru adalah video/rekaman yang meniru suara dan memalsukan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut menyebut “guru beban negara”.
Ketiga adalah ajakan aksi palsu, yang kerap beredar di lini masa atau terkirim melalui siaran komunitas (broadcast).
Keempat adalah narasi sesat pikir atau logical fallacy. Narasi ini biasanya dikemas dengan meme atau flyer yang beredar di lini masa media sosial. Teks kalimat yang dituliskan berisi argumen yang seolah terlihat benar, padahal tidak valid. Kesalahan ini sering digunakan, baik disengaja maupun tidak, untuk memanipulasi atau menyesatkan orang lain.
Ada beberapa jenis narasi sesat pikir yang sering menumpang melalui flyer atau teks kalimat di media sosial. Di antaranya: Ad Hominem. Narasi yang dibuat menyerang karakter, motif, atau latar belakang orang. Bukan fokus kepada argumennya.
Berikutnya adalah Straw Man Fallacy. Narasi ini menyederhanakan, atau sebaliknya melebih-lebihkan, atau bahkan memutarbalikkan argumentasi.
Lalu ada juga Bandwagon Fallacy (Argumentum ad Populum). Narasi ini mengasumsikan bahwa suatu isu atau argumen itu benar karena banyak orang yang memercayainya.
Kemudian False Dichotomy. Narasi sesat yang memojokkan seseorang bahwa pilihan itu hanya ada dua. Tidak ada pilihan lain selain dua itu. Padahal ada banyak pilihan lain yang tersedia.
Yang terakhir adalah Appeal to Authority (Argumentum ad Verecundiam). Narasi sesat ini membangun kebenaran argumen hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, tanpa mempertimbangkan validitas argumen itu sendiri.
Memahami jenis-jenis sesat pikir ini bisa membantu kita lebih kritis dalam menyaring narasi, terutama di media sosial. Dengan mengenali polanya, kita tidak akan mudah terjebak dalam narasi yang menyesatkan dan bisa berargumen dengan lebih logis.
Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan.
Tugas Pemerintah
Masyarakat pengguna atau yang terpapar konten hoaks tentu tidak memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan verifikasi. Apalagi masyarakat dengan latar pendidikan yang tidak tinggi. Dan itu mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir untuk melakukan penjernihan hoaks.
Negara harus membentuk command room satu atap yang bertugas melakukan analitik disinformasi, dan merespon dengan cepat dalam hitungan menit untuk menyampaikan bahwa konten tersebut hoaks, deepfake atau ajakan palsu.
Tugasnya jelas: deteksi real-time miscaption, deepfake, ajakan palsu, narasi sesat pikir dan amplifikasinya. Jangan biarkan konten tersebut menyebar dengan cepat, tanpa verifikasi, atau tanpa counter atau tanpa ulasan yang menjelaskan bahwa itu hoaks atau berbahaya bagi masyarakat.
Penjelasan atau counter tersebut disiarkan serentak di media mainstream TV, Radio dan media online, serta di kanal medsos YouTube, Facebook, TikTok, Instagram dan Tiktok serta broadcast WA.
Dalam situasi gejolak atau genting, harus dilakukan jumpa pers harian atau update per waktu, mengenai situasi terkini, termasuk klarifikasi informasi hoaks yang beredar di medsos.
Karena dalam ekologi digital yang berkecepatan tinggi, kecepatan klarifikasi menjadi salah satu indikator kunci. Studi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2024, mencatat rata-rata warganet Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, dengan 167 juta pengguna aktif.
Dalam konteks kerusuhan 2025, kita bisa mengambil pelajaran, secepat apa pemerintah melakukan debunking alias tindakan membongkar dan menunjukkan bahwa suatu informasi itu hoaks, deepfake dan sejenisnya, dengan menyajikan bukti-bukti yang terverifikasi.
(*) MM
Penulis adalah Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, dan Guru Besar Universitas Negeri Makassar dan Wakil Rektor Universitas Jayabaya Jakarta.


.jpeg)
